AlurNews.com – Ombudsman RI perwakilan Kepulauan Riau (Kepri), meragukan klaim Pertamina Patra Niaga Area Kepri, dan Disperindag Kota Batam mengenai ketiadaan pengecer di Kota Batam.
Keraguan klaim ini menyusul laporan masyarakat walau aturan pelarangan pengecer telah ditetapkan sejak tahun 2019 lalu.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kepri, Lagat Siadari menyampaikan, dalam fakta yang ditemukan, masyarakat masih melakukan pembelian di pengecer. Bahkan keberadaan para pengecer di Batam, disebut bisa ditemui di sekitar pemukiman, dan area jalan raya.
“Teorinya Batam tidak izinkan pengecer sejak 2019 itu betul, tapi faktanya dimana-mana ada. Di sekitar pemukiman masyarakat, di jalan raya ada bertumpuk dan bukan pangkalan, itu fakta,” jelas Lagat melalui sambungan telepon, Kamis (6/2/2025) sore.
Dalam praktiknya, pengecer gas LPG 3 kilogram di Batam bahkan memberi harga jual hingga Rp35 ribu di momen libur, hari raya, dan saat kelangkaan terjadi di masing-masing pangkalan.
Sementara untuk harga normal di pengecer, harga jual gas LPG 3 kilogram disebut bervariasi mulai dari Rp25 ribu hingga Rp28 ribu per tabung.
“Walau lebih mahal dari aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) di Batam, tapi warga masih lebih mudah mendapatkan gas ke pengecer. Warga kan nggak punya pilihan kalau tidak dapat di pangkalan, mereka akan mengupayakan berapapun harganya,” ujarnya.
Untuk itu, Ombusman Kepri kata dia masih mencari informasi mengenai cara para pemilik warung yang berada di pinggir untuk mendapatkan tabung gas 3 kilogram.
Keberadaan tabung gas 3 kilogram di warung-warung kecil ini, diduga melibatkan oknum dari agen dan pangkalan gas yang ada di Batam.
“Bagaimana pengecer mendapat gas itu pertanyaan kita. Dari penelusuran sementara ada dugaan oknum pangkalan yang nakal. Kemudian ditarik ke atas ada dugaan juga oknum agen yang bermain dengan stok ini,” sebutnya.
Sistem Pengawasan Pertamina dan Disperindag Dipertanyakan
Terkait keberadaan pengecer yang tidak diakui oleh Pertamina dan Disperindag Batam, Ombusman Perwakilan Kepri juga mempertanyakan sistem pengawasan yang dilakukan selama ini.
Hingga saat ini, baik pemerintah kota (Pemko) Batam dan Pertamina dianggap hanya melakukan langkah operasi pasar yang dinilai kurang efektif apabila dilihat untuk langkah pencegahan jangka panjang.
Ombusman menyebut langkah operasi pasar, hanya berfungsi untuk meredam sementara keributan di masyarakat, namun langkah ini juga dinilai mempersulit para pemilik izin pangkalan di Batam.
“Sekali ada keluhan pangkalan kosong, langkah yang dilakukan adalah operasi pasar. Namun langkah ini sering mendapat keluhan dari pangkalan. Mereka mempertanyakan, kalau memang ada stok sebanyak untuk operasi pasar, kenapa tidak mengirim ulang stok di pangkalan untuk bisa dijual ke masyarakat. Beberapa pangkalan bahkan mempertanyakan legalitas yang mereka punya untuk menjual gas 3 kilogram ke masyarakat,” sebutnya.
Menurut Lagat, langkah operasi pasar tidak akan memecahkan masalah yang sudah ada saat ini. Terlebih masalah harga jual yang tentu saja akan langsung berdampak ke masyarakat.
“Kalau memang sudah kosong, kenapa tidak Pertamina turun ke pangkalan dan mengisi ulang stok kalau memang masih ada. Hal ini tentu saja membuat pangkalan jalan sesuai fungsinya, dan harga bisa tetap terkontrol,” jelasnya.
Selain itu, alasan tahunan yang kerap disebutkan oleh Pertamina terkait keamanan dan keandalan stok gas LPG 3 kilogram di Batam juga patut dipertanyakan.
Hal ini menyusul aduan dari beberapa pangkalan yang mengaku ada pengurangan pengiriman kuota gas dari SPBE yang ada di Batam.
“Berdasarkan informasi dari pangkalan, ada pengurangan misal dari 100 ke 80 tabung saja. Pengakuan agen yang kami datangi memang dibatasi dari SPBE-nya,” sebutnya. (Nando)