GAZA (jurnalislam.com)— Tahun ajaran baru kembali dimulai di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki Israel. Namun, di Jalur Gaza, untuk tahun ketiga berturut-turut, sekolah tidak dibuka akibat perang yang belum menunjukkan tanda berakhir.
Suasana yang biasanya diwarnai bel sekolah, barisan siswa dengan seragam baru, serta sapaan guru, kini berganti dengan tenda-tenda pengungsian, reruntuhan, dan tempat penampungan yang penuh sesak. Ribuan anak terpaksa absen dari pendidikan, memicu kekhawatiran akan hilangnya satu generasi.
Aisha Ahmed (10), salah satu siswi di Gaza, mengaku tak lagi ingat huruf-huruf dengan benar. “Saya mencoba menulis nama saya, tetapi terkadang lupa. Ibu saya bilang suatu hari nanti saya akan kembali ke sekolah, tetapi kapan?” katanya kepada The New Arab.
Nasib serupa dialami Hassan Abu Hasira (13), yang seharusnya memasuki kelas delapan. Kini, ia menghabiskan waktunya membantu ayah membuat furnitur darurat di kamp pengungsian. “Ketika perang dimulai, impian saya berakhir. Teman-teman saya ada yang terbunuh, ada yang hilang. Saya bahkan tidak ingat pelajaran terakhir saya,” ujarnya.
𝗥𝗶𝗯𝘂𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿 𝗧𝗲𝘄𝗮𝘀
Kementerian Pendidikan Palestina melaporkan lebih dari 17.000 pelajar dan 1.200 mahasiswa tewas sejak perang kembali pecah pada Oktober 2023. Hampir 90 persen sekolah di Gaza hancur atau rusak berat, sementara bangunan yang masih berdiri dipenuhi pengungsi.
“Pendidikan adalah tulang punggung pemulihan masyarakat. Di Gaza, tulang punggung itu sudah hancur,” kata Rami Khalaf, peneliti pendidikan berbasis di Ramallah.
Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan risiko hilangnya satu generasi anak-anak Palestina. Banyak murid sekolah dasar tidak sempat belajar membaca atau menulis karena perang dan pengungsian.
𝗢𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗧𝘂𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗚𝘂𝗿𝘂 𝗧𝗲𝗿𝗽𝘂𝗿𝘂𝗸
Selain anak-anak, para orang tua juga khawatir generasi berikutnya terjerumus dalam buta huruf. “Putri saya seharusnya belajar alfabet tahun ini, tetapi saya sendiri tidak bisa mengajarinya karena tidak tamat sekolah,” kata Sami Abu Mustafa, warga al-Zawaida.
Para guru berupaya memberikan pelajaran darurat di tenda-tenda pengungsian. “Kami menulis angka di kardus bekas, tapi pikiran anak-anak penuh dengan perang. Tenda bukanlah sekolah, dan kardus bukan pengganti papan tulis,” kata Nadia Assaf, guru matematika di Khan Younis.
𝗧𝗲𝗸𝗮𝗻𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝗧𝗲𝗽𝗶 𝗕𝗮𝗿𝗮𝘁
Sementara itu di Tepi Barat, meski sekolah kembali dibuka, situasi pendidikan juga menghadapi tantangan berat. Pemotongan pendapatan izin oleh Israel membuat guru tidak digaji selama berbulan-bulan dan layanan pendidikan berjalan sangat minim.
“Gaza dibombardir hingga buta huruf, sementara Tepi Barat tercekik secara finansial. Efek gabungan ini menciptakan masa depan suram bagi anak-anak Palestina,” ujar analis politik Gaza, Hussam al-Dajani.
𝗦𝗶𝗺𝗯𝗼𝗹 𝗣𝗲𝗿𝗹𝗮𝘄𝗮𝗻𝗮𝗻
Meski demikian, harapan masih bertahan. Sejumlah anak di pengungsian tetap membawa tas sekolah kosong sebagai simbol kehidupan normal. Guru-guru menuliskan alfabet di pasir, dan orang tua terus meyakinkan anak mereka bahwa ruang kelas suatu hari akan kembali dibuka.
“Pendidikan adalah bentuk perlawanan kami terhadap kehidupan yang tidak adil,” kata Samiha Ayoub, guru asal Gaza. “Setiap huruf yang kami tulis adalah pesan kepada dunia: kami masih ada, kami masih ingin belajar, dan perang tidak akan menghapus kami.” (Bahry)
Sumber: TNA