Oleh : Herliana Tri M
Gencatan senjata yang saat ini terjadi belum mampu meredakan derita dan sakitnya warga Gaza. Kata dan perilaku tak bisa dipercaya. Inilah gambaran warga Gaza harus berhadapan dengan pendudukan Israel.
Gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan pada 10 Oktober lalu ternyata tidak menunjukkan angin segar bagi kedamaian warga Palestina di Gaza. Dalam sepuluh hari sejak kesepakatan itu berlaku, hampir 100 warga Palestina meninggal dan 230 lainnya luka-luka akibat serangan militer Israel. Serangan udara dan tembakan langsung terhadap warga sipil terjadi meski kesepakatan damai masih resmi berlaku.
Gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat dengan dukungan Qatar, Mesir, dan Turki memuat 20 poin kesepakatan. Di antaranya penghentian secara total pertempuran, pembebasan tahanan, penarikan bertahap pasukan Israel, hingga penyerahan pemerintahan Gaza kepada administrasi yang independen dari Hamas. Artinya dalam kesepakatan ini Hamas siap melucuti senjatanya dan memberikan kepada tim independen yang akan membangun Gaza kembali.
Gagal Fokus
Karakter Israel tak pernah berubah. Tak pernah bisa dipegang janjinya. Bangsa yang selalu ingkar. Dugaan kuat, Israel mau duduk untuk mengikuti gencatan senjata karena kuatnya tekanan internasional dan desakan Israel untuk mundur dari wilayah Gaza.
Saat dirasa penduduk dunia mulai mengendur atas pembelaannya terhadap Gaza, tabiat aslinya kembali dipertontonkan, membombardir membabi buta, tak pandang bulu, tak mengenal waktu dan kembali bantuan sulit untuk masuk. Padahal ini baru hitungan jari jalannya gencatan senjata.
Kedatangan tentara muslim di Palestina yang diatur oleh Trump, masuk ke wilayah Gaza dan bermaksud melucuti senjata pejuang disana justru menunjukkan langkah mundur, gagal fokus dalam pembelaan. Bukankah yang menduduki wilayah Gaza adalah Israel, mengapa posisi negara-negara yang akan masuk wilayah Gaza tidak melucuti senjata Israel dan mengusirnya dari wilayah jajahan?
Sungguh tak masuk nalar apabila negara- negara yang ingin menjadi penengah konflik ini justru ingin hadir dan memuluskan usaha Israel untuk melumpuhkan perjuangan penduduk Gaza. Keberadaan saudara muslim yang akan hadir justru melaksanakan kehendak Trump yang selalu mendukung Israel. Disamping itu, para tentara juga melaksanakan kehendak mantan perdana menteri Inggris Tony Blair yang terkenal kejam. Pusat operasi tentara yang dianggap independen tidak akan berada di bawah bendera tauhid, melainkan di bawah perlindungan entitas Zionis sang pembunuh dengan bendera biru-putihnya.
Bersikap Ksatria, Membebaskan Tanah Jajahan
Untuk membebaskan Gaza secara efektif sebenarnya kita dapat belajar dari Sultan Salahuddin al-Ayyubi saat membebaskan Palestina pada tahun 1187. Tokoh pejuang ini membangun kekuatan militer yang mampu menyatukan wilayah-wilayah kaum Muslim yang terpecah-belah. Pada akhirnya Palestina dapat dibebaskan dari pasukan Salib setelah dijajah selama 90 tahun lamanya.
Oleh karena itu, untuk membebaskan Palestina kita juga butuh pemimpin tangguh, yang berani mengambil sikap tegas sama seperti para pemimpin kaum Muslim terdahulu. Mereka mampu menyatukan kekuatan kaum muslim, membangun militer yang kuat dan memobilisasi tentara kaum muslim, melakukan pembebasan terhadap Palestina. Hanya dengan itu, persoalan penjajahan dan pembantaian terhadap saudara Muslim Palestina bisa diselesaikan dengan cepat dan efektif.
Jika langkah ini tidak diambil, dunia hanya akan menonton dan menghitung jumlah korban tiap harinya yang terus-menerus bertambah, baik karena ditembak, dibom, atau mati kelaparan kekurangan nutrisi. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, apabila keberadaan negeri-negeri muslim yang nantinya hadir ke Gaza justru menyelesaikan ambisi Israel yang belum bisa ia tuntaskan, yakni ‘memandulkan’ perjuangan rakyat Gaza dengan melucuti semua senjata pejuang. Sungguh apabila ini terjadi, sejarah akan mencatat sebagai wujud pengkhianatan atas saudara yang tertindas.

8 hours ago
6

















































