GAZA (jurnalislam.com)- Sebanyak 74 persen warga Israel, termasuk 60 persen dari pemilih koalisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, mendukung kesepakatan dengan Hamas untuk membebaskan seluruh sandera sekaligus dengan imbalan penghentian perang di Gaza. Hal itu terungkap dalam survei yang disiarkan Channel 12 pada Jumat (11/7/2025).
Sebaliknya, hanya 8 persen responden mendukung usulan Netanyahu yang menawarkan pembebasan sebagian sandera terlebih dahulu, dilanjutkan dengan negosiasi gencatan senjata permanen dan pembebasan sisanya. Sebanyak 12 persen menolak kesepakatan apa pun yang mensyaratkan diakhirinya perang, dan 6 persen menyatakan tidak tahu.
Ketika ditanya mengapa Netanyahu bersikeras pada kesepakatan bertahap, 49 persen responden menilai alasan tersebut bermotif politik, sementara 36 persen mengatakan pertimbangan keamanan. Sisanya, 15 persen, mengaku tidak tahu.
Dalam pertemuan dengan keluarga para sandera di Washington pada Rabu lalu, Netanyahu menyatakan bahwa kesepakatan menyeluruh untuk memulangkan seluruh sandera sekaligus “tidak pernah menjadi pilihan”, menurut laporan penyiar publik Kan.
Survei juga menunjukkan bahwa 55 persen warga Israel menilai penanganan Netanyahu terhadap perang di Gaza buruk, dibandingkan dengan 41 persen yang menilainya baik, dan 4 persen tidak memberikan penilaian. Untuk Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, 52 persen menilai kinerjanya buruk, 37 persen baik, dan 11 persen tidak tahu.
Satu-satunya pejabat tinggi yang mendapatkan penilaian positif adalah Kepala Staf Angkatan Pertahanan Israel (IDF), Letnan Jenderal Eyal Zamir. Sebanyak 62 persen responden menilai kinerjanya dalam perang baik, 24 persen buruk, dan 14 persen tidak tahu.
Di tengah spekulasi bahwa Netanyahu dapat mengundurkan diri sebagai bagian dari kesepakatan hukum guna mengakhiri proses pengadilan korupsi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, sebanyak 55 persen responden, termasuk 27 persen pemilih koalisi, menyatakan ia sebaiknya mengambil opsi tersebut. Sementara itu, 34 persen ingin Netanyahu tetap menjabat dan maju pada pemilu berikutnya, dan 11 persen tidak memiliki pendapat.
Mengenai isu yang akan menentukan pilihan dalam pemilu mendatang, 27 persen responden menyebut ekonomi dan biaya hidup sebagai faktor utama. Sebanyak 26 persen menyebut perang Gaza dan serangan Hamas yang memicunya, 14 persen menyoroti isu wajib militer bagi warga ultra-Ortodoks (Haredi), 13 persen menyebut perpecahan internal Israel, 8 persen menyoroti program nuklir Iran, dan 12 persen lainnya belum menentukan sikap.
Saat ditanya siapa yang layak memimpin blok oposisi anti-Netanyahu dalam pemilu mendatang, 35 persen pemilih oposisi memilih mantan Perdana Menteri Naftali Bennett. Sementara itu, 13 persen menyebut Benny Gantz (Ketua Partai Biru Putih), 12 persen mendukung Yair Lapid (Ketua Partai Yesh Atid), 12 persen menyebut Avigdor Liberman (Ketua Partai Yisrael Beytenu), 11 persen memilih Gadi Eisenkot (mantan Kepala IDF), dan 6 persen menyebut Yair Golan (Ketua Partai Demokrat).
Partai baru yang dibentuk Bennett, sementara diberi nama Bennett 2026, telah menyelesaikan pendaftaran bulan lalu. Meskipun pernah menjadi sekutu Netanyahu di sayap kanan, Bennett kehilangan dukungan dari kalangan tersebut setelah membentuk pemerintahan pada 2021–2022 yang melibatkan partai sayap kiri dan Arab.
Pemilu Israel berikutnya dijadwalkan berlangsung pada Oktober 2026, kecuali terjadi pembubaran parlemen lebih awal. Tekanan untuk pemilu ulang terus meningkat setelah pemerintah dinilai gagal mencegah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menjadi pemicu perang di Gaza.
Dari dalam koalisi, faksi ultra-Ortodoks mengancam menarik dukungan karena kekecewaan terhadap kebijakan pengecualian wajib militer bagi siswa yeshiva. Sementara itu, partai-partai sayap kanan mengancam menjatuhkan pemerintahan jika perang di Gaza dihentikan.
Meski secara terbuka berjanji akan terus memerangi Hamas hingga organisasi itu dikalahkan, Netanyahu dilaporkan tengah bekerja sama dengan mantan Presiden AS Donald Trump untuk menyusun rencana mengakhiri perang. Rencana tersebut juga mencakup komitmen kembali terhadap solusi dua negara dan normalisasi hubungan diplomatik Israel dengan Arab Saudi dan Suriah.
Survei Channel 12 ini dilakukan oleh perusahaan riset Midgam, bekerja sama dengan iPanel. Namun, ukuran sampel dan margin of error tidak disebutkan dalam laporan. (Bahry)
Sumber: TOI