Ketika Kata-Kata Menjadi Doa, Harapan dan Bukti Perjuangan Untuk Palestina

2 weeks ago 26

Oleh: Budi Eko Prasetiya, SS

Kata-kata bisa menjadi inspirasi yang membangkitkan semangat, mengubah cara pandang, dan membangkitkan gairah untuk berbuat kreatif atau solutif.

Islam memandang kata-kata bukan sebagai sesuatu biasa saja. Kata-kata bisa menjadikan seseorang yang lemah menjadi kuat ataupun sebaliknya. Kata-kata bisa merubah seseorang menjadi lebih baik atau sebaliknya. Dari kata-kata pula seseorang bisa masuk surga atau neraka.

Rasulullah shallallahu ala’ihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya seorang hamba yang berbicara dengan kata-kata yang diridhai Allah ’Azza wa Jalla tanpa berpikir panjang, Allah akan mengangkatnya beberapa derajat dengan kata-katanya itu.

Dan seorang hamba yang berbicara kata-kata yang dimurkai Allah tanpa berpikir panjang, Allah akan menjerumuskannya ke neraka Jahanam dengan kata-katanya itu.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Malik)

Berdasarkan hadis tersebut, dapat dipahami betapa besar pengaruh kata-kata terhadap nasib diri sendiri. Ucapan yang baik dan diridhai Allah akan memberikan kebaikan dan keberkahan dalam hidup.

Maka, mari jadikan kata-kata kita menjadi sesuatu yang bermanfaat dan bernilai ibadah. Salah satunya dengan menjadikannya seruan untuk mendukung perjuangan dan kemerdekaan saudara-saudara Muslim kita yang masih dizalimi oleh Zionis Israel di Palestina.

Seruan membela Palestina sangat efektif dalam membentuk opini publik, memberikan bantuan kemanusiaan, dan memperkuat solidaritas internasional melalui berbagai jalur, seperti media sosial, donasi, dan advokasi hukum. Meskipun bukan solusi langsung terhadap konflik, aksi solidaritas ini penting untuk mendorong perubahan politik dan kemanusiaan di Palestina.

Kata-kata sebagai harapan

Sebagai salah satu Negara dengan populasi muslim besar dunia, tercatat bagaimana Presiden RI menyeru untuk mendukung perjuangan Palestina. Seruan perlawanan pada penindasan dan dorongan Palestina merdeka disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB, New York, Selasa (23/9/2025).

Dalam pidatonya, Prabowo mengingatkan para pemimpin bangsa, banyak warga di Gaza menangis meminta pertolongan. Perempuan, anak, dan warga lansia menjadi kelompok paling rentan dalam setiap konflik. Oleh karena itu, semua negara perlu bersatu melawan penindasan dan ketidakadilan.

To those who have yet to act, we say history does not stand still. We must recognize Palestine now. We must stop the humanitarian catastrophe in Gaza. Ending the war must be our utmost priority.

We must overcome hatred and fear. We must overcome suspicion. We must achieve the peace that is necessary for the human family. We are ready to take our part in this journey towards peace. We are willing to provide peacekeeping forces.

Pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB boleh diacungi jempol, meski disayangkan terkait gagasan two state solution.

Kata-kata yang menjadi resiko perjuangan

Hal sama pernah dilakukan oleh Presiden Pertama RI the founding father, Ir Soekarno berpidato pada Tahun 1960, di gedung megah Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Judul Pidatonya membuat PBB kaget, “To Build the World Anew”, yang berarti, “Mari kita bongkar rumah tua dunia ini, lalu kita bangun ulang dari fondasinya.”

Kala itu, Amerika dan Uni Soviet yang sedang rebutan jadi kontraktor dunia, langsung “melongo”. Indonesia bukan cuma minta renovasi, dia minta dibongkar total. Ia mengutip Dasa Sila Bandung, mengibarkan panji Asia-Afrika, dan menempeleng kolonialisme yang katanya sudah mati tapi masih suka gentayangan.

“Colonialism is not dead!” kata Bung Karno.

Bahkan, Presiden Sukarno pernah menolak kehadiran kontingen Israel, ketika Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Games 1962. Pada momen itu, Presiden Sukarno tegas menyampaikan,

“Selama kemerdekaan Bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel”

Sesuai Amanat Konstitusi

Sikap berani dan perkataan tegas para Presiden RI ini dalam rangka memenuhi amanat konstitusi sebagaimana yang termaktub dalam Alinea 1 pembukaan UUD 1945.

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Kata-Kata Menggugah dari Para Pendahulu

Ketika sahabat Amru bin Ash di bawah komando Abu Ubaidah Al-Jarrah mulai memblokade Al-Quds pada 17 Hijriah. Al-Quds terkenal dengan benteng yang sangat kokoh, sehingga membuat pasukan muslim kesulitan menembus kota tersebut dan bertahan di luar benteng.

Penguasa Kota Suci Al Quds kala itu, Sophronius dari Pendeta Yunani berharap pasukan muslim menyerah dan mengurungkan niat menaklukkan Al-Quds.

Sophronius lalu memutuskan mengirim surat ke Amru bin Ash yang masih bertahan di luar benteng. Dalam surat tersebut, ia meminta Amru bi Ash untuk menyerah dan kembali ke Madinah. Namun permintaan itu ditolak, dan Amru bin Ash tetap memilih bertahan untuk merebut kota suci tersebut.

Amru bin Ash mengirim surat balasan dengan kata-kata yang menohok Sophronius

“Jangan salah, karena akulah penakluk negeri ini.”.

Ketika Sophinius membacanya, dia tertawa terbahak-bahak karena menganggap Amru tidak bijak.

“Tidak mungkin Amru yang akan menaklukkan, karena yang bisa menaklukkan Baitul Maqdis adalah ‘Ain, mim, Raa’ atau Umar.” Kata Sophonius sambil tertawa.

Perkataan tersebut terdengar oleh kurir, dan langsung melaporkan kepada Amru bin Ash.

“Yang mereka bicarakan bukan Amru penakluk Baitul Maqdis, tapi Umar.”

Amru bin Ash segera meminta Amirul Mu’minin segera ke Al Quds. Umar bin Khattab berangkat dari Madinah tanpa dikawal iring-iringan militer. Umar lebih dulu menetap di Jabiah sebelum berangkat ke Al-Quds.

Yang menarik dari momentum di Jabiah ini adalah Umar hanya mengendarai keledai. Pemandangan ini sulit diterima oleh pasukan muslim yang terbiasa berhadapan dengan pasukan Romawi. Sementara kepentingan Umar adalah berhadapan dengan pembesar Romawi di Al-Quds terkait perjanjian yang akan disepakati terkait penyerahan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.

Abu Ubaidah menasihati Umar. “Wahai Amirul Mukminin, engkau akan berhadapan dengan para pembesar Romawi.”

“Ya Abu Ubaidah, Allah memuliakan kalian dengan Islam. Maka apakah engkau hendak mencari Izzah dari selain islam? Allah akan menghinakan kalian.” Jawab Umar.

Dia berpendapat bahwa dirinya tidak akan terhina jika memakai keledai, karena dia menggunakan izzah Islam.

Setelah itu, Umar pun berangkat ke Al-Quds hanya ditemani satu orang pelayannya. Lantaran kendaraan hanya satu, maka keduanya bergantian. Jika giliran Umar menunggangi keledai, maka pelayan yang menuntun. Begitu pula sebaliknya. Saat hendak memasuki kota Al-Quds giliran Umar yang menuntun kuda sementara sang pelayan berada di punggungnya.

Maka saat Sophronius menyaksikan langsung kedatangan Umar, tanpa ragu ia serahkan kunci kota Al-Quds. Tanpa ragu ia tanda tangani kesepakatan dengan jaminan keamanan dan kebebasan beribadah serta tak ada orang Yahudi yang hidup di Yerussalem. Demikianlah isi kesepakatan tersebut.

Kata-kata yang terwarisi sebagai visi dan misi

Dikutip dari Kitab “Shalah Ad-Din Al-Ayubbi ; Bathal Hiththin wa Muharrir Al-Quds Min Ash-Shalibiyyin” (532-589 H) yang ditulis oleh Dr. Abdullah Nashih ‘Ulwan, menyebutkan bahwa Ayahnya (Shalahudin Al Ayyubi), Najmuddin Ayyub masih melajang hingga di usia paruh baya-nya. Pamannya, Asaduddin turut risau terkait status keponakannya tersebut.

Asaduddin pun bertanya, “Saudaraku, mengapa kamu belum menikah?”

Najmuddin pun menjawab, “Aku belum menemukan yang cocok!”, jawabnya singkat.

Asaduddin pun mencoba membantu, “Maukah aku lamarkan seseorang untukmu?” ujarnya.

“Dia adalah Puteri Malik Syah, anak seorang Sultan Muhammad bin Malik Syah yang merupakan Raja Bani Saljuk, atau juga pada putri Nidzamul Malik, seorang menteri agung Abbasiyah” tekan Asaduddin meyakinkan saudaranya tersebut.

Najmuddin menjawab, “Mereka juga tidak cocok denganku”.

Asaduddin pun bertanya, “lantas siapa yang cocok bagimu?”

Seketika Najmuddin pun menjawab dengan lantang.

“Aku menginginkan istri yang shalihah yang bisa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia didik dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria yang mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.”

Kata-Kata itu penting untuk perjuangan Palestina

Masalah yang menimpa warga Palestina bukan hanya masalah bagi umat Islam saja. Sebab, yang sebenarnya terjadi di Palestina adalah masalah kemanusiaan. Banyak kelompok dan individu dari berbagai latar belakang, telah menyuarakan dukungan mereka untuk rakyat Palestina. Beragam Aksi Pembelaan Kepada Palestina terjadi di berbagai kota di negara yang mayoritas masyarakatnya ternyata non-Muslim.

Membela Palestina sesungguhnya adalah panggilan kemanusiaan yang bisa dilakukan dengan berbagai cara apapun. Dengan seruan yang menggugah kepedulian masyarakat dunia hingga seruan pengiriman bantuan militer dan aksi kemanusiaan. Aksi ini bisa disuarakan oleh siapa pun, bahkan tanpa memandang agama. Selama identitas kemanusiaan masih melekat padanya, maka seharusnya apatisme dan masa bodoh tidak lagi muncul dalam sikap dan suara. Semoga kemerdekaan dan kebebasan lekas hadir di bumi Palestina seiring dengan pembelaan kita -sesama manusia- dalam empati dan doa kepada mereka.

Read Entire Article
Alur Berita | Malang Hot | Zona Local | Kabar Kalimantan |