ZONASULTRA.ID, KENDARI- Pergerakan Mahasiswa Keadilan (PMK) Sulawesi Tenggara (Sultra) mendesak keras kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mencopot Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Kabid Propam) Polda Sulawesi Tenggara, Kombes Pol Eko Tjahyo Untoro.
Desakan ini dikarenakan Kabid Propam Polda Sultra tidak becus menangani laporan dugaan mafia tanah yang menyeret seorang perwira polisi, Iptu Naswar.
Laporan itu dilayangkan sejak 21 Juli 2025 oleh Awaludin, korban kasus dugaan mafia tanah, melalui kuasa hukumnya Abdul Razak. Hingga kini, menurut PMK Sultra, tak ada titik terang.
“Kami mendesak Kapolri mencopot Kabid Propam Polda Sultra. Kalau tidak ditangani serius, kasus ini sangat mencoreng marwah kepolisian,” kata Ketua PMK Sultra, Ismail Marcos, di Jakarta, pada Selasa, 16 September 2025.
Ismail menilai Eko Tjahyo justru terkesan melindungi Naswar yang kini bertugas di Polres Kolaka Utara. Padahal, fakta-fakta yang dituangkan dalam laporan korban dianggap sangat jelas, mulai dugaan pemerasan, perampasan rumah, pemalsuan dokumen, hingga penadahan.
“Kepolisian mestinya di garda terdepan memberantas mafia tanah. Ironisnya, justru di tubuh Polda Sultra ada perwira yang diduga jadi bagian dari mafia itu. Mestinya sejak laporan masuk, Iptu Naswar sudah di-patsus (penempatan khusus),” ujarnya
PMK Sultra juga menyinggung keberadaan Satuan Tugas Anti Mafia Tanah yang dibentuk Polri bersama Kementerian ATR/BPN.
“Kalau Presiden Prabowo Subianto tegas soal mafia, maka kasus ini harus jadi perhatian serius Kapolda Sultra,” kata Ismail.
Ia menegaskan, pada 29 September 2025 mendatang, ratusan mahasiswa asal Sultra akan menggelar aksi di depan Mabes Polri, menuntut pencopotan Kombes Eko Tjahyo.
“Pikiran Lokal berusaha menghubungi Eko Tjahyo Untoro untuk meminta tanggapan. Namun, upaya itu tak kunjung mendapat respon,” ujarnya
Sementara itu, nama Iptu Naswar mulai disebut dalam kasus Awaludin sejak 2016. Saat itu, karena kesulitan ekonomi, Awaludin meminjam Rp 250 juta dari Naswar dengan jaminan sertifikat rumah yang dibelinya di Perumahan Palmas, Kendari, tahun 2014. Sertifikat itu tak pernah kembali. Awaludin justru mendapati rumah yang sudah ditempatinya sejak 2014 berpindah tangan melalui serangkaian transaksi mencurigakan.
Kuasa hukum korban, Abdul Razak, menyebut kasus ini sebagai pola mafia tanah klasik.
“Sertifikat dijadikan jaminan, lalu berakhir di tangan orang lain tanpa dasar hukum. Kerugian klien kami ditaksir Rp 250 juta,” ujarnya.
Kini, kasus itu menjadi ujian serius bagi Polri. Apakah institusi akan menunjukkan ketegasan menindak dugaan mafia tanah di internalnya, atau justru memperpanjang deret cerita suram tentang mafia tanah yang kerap mengorbankan warga kecil.
Kontributor: Sutarman