Tahun 2023 menandai tonggak penting lahirnya kebijakan QRIS Cross Border, sebuah inovasi dari Bank Indonesia yang diam-diam mengubah peta kekuasaan sistem pembayaran internasional.
Partahi Fernando Wilbert Sirait
Batam
Dikembangkan sejak 2019, Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) Cross Border adalah jawaban Indonesia atas kebutuhan transaksi lintas negara yang lebih efisien, cepat, dan terjangkau. Dua tahun sejak resmi berjalan, sistem ini bukan hanya memudahkan transaksi di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga memancing reaksi dari kekuatan ekonomi dunia: Amerika Serikat.
Paska diluncurkan dan telah berjalan selama dua tahun belakang ini, QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) kemudian menjadi sorotan utama dari Pemerintah Amerika Serikat (AS). Sistem digital ini dinilai menghambat perdagangan luar negeri Amerika.
Dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan akhir Maret 2025, Pemerintah AS mencantumkan kekhawatiran atas QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Sistem ini, menurut mereka, berpotensi menghambat arus perdagangan luar negeri mereka—sebuah sinyal bahwa teknologi finansial lokal Indonesia tak lagi dianggap kecil.
Melihat perkembangan kebijakan Amerika ini, menimbulkan berbagai tanggapan dari berbagai pihak salah satunya Akademisi sekaligus pengamat demokrasi digital dan ekonomi inklusif dari Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA) Batam, Linayati Lestari.
Linayati menyebut QRIS Cross Border bukan hanya sekedar teknologi finansial, melainkan juga simbol pergeseran arsitektur keuangan global menuju arah yang lebih multipolar.
Namun, kesuksesan QRIS Cross Border tidak serta-merta disambut baik oleh semua pihak. Saat ini, Amerika melalui beberapa saluran diplomatik dan kebijakan fiskalnya, mulai menunjukkan kekhawatiran bahkan potensi intervensi.
“Dalam konteks ini, kita melihat indikasi bahwa keuangan digital kini telah menjadi arena baru dalam persaingan geopolitik global,” jelasnya saat ditemui, Sabtu (21/6/2025).
Linayati menyebut, dengan QRIS Cross Border memungkinkan warga Indonesia dan warga negara mitra seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura untuk melakukan transaksi langsung dalam mata uang lokal mereka, tanpa harus menukar terlebih dahulu ke dolar AS.
Menurutnya, QRIS Cross Border adalah langkah konkret Indonesia dalam membangun kedaulatan digital dan finansial di tengah arus globalisasi ekonomi.
“Ketika sistem ini dipandang sebagai ancaman oleh negara besar seperti Amerika Serikat, justru itulah tanda bahwa kita berada di jalur yang benar,” jelasnya.
Alih-alih mundur karena tekanan, Linayati menyarankan Indonesia memperkuat kerja sama dengan negara-negara ASEAN, BRICS, dan Global South lainnya guna menciptakan sistem keuangan digital yang inklusif, adil, dan berdaulat.
“Karena pada akhirnya, siapa yang menguasai sistem pembayaran, dialah yang memegang kendali atas masa depan ekonomi dunia,” ujarnya.
QRIS Cross Border menurutnya menjadi bentuk nyata diplomasi ekonomi baru Indonesia. Dimana Indonesia menunjukkan kemampuan mengambil posisi strategis dalam membangun tatanan keuangan digital regional.
“Maka, bukan hal mengejutkan jika Amerika merasa perlu “ikut campur” dalam arah perkembangan ini baik secara terbuka melalui diplomasi, maupun secara terselubung melalui tekanan politik dan ekonomi. Saat negara-negara Asia mulai membangun sistem pembayaran sendiri, kita sedang menyaksikan berakhirnya era tunggal AS dalam keuangan global,” jelasnya.
Dampak Ekonomi: Menuju Kedaulatan Finansial
Dari sudut pandang Linayati, kebijakan QRIS Cross Border memberikan sejumlah manfaat nyata, salah satunya efisiensi transaksi lintas negara. Dengan QRIS, maka pelaku usaha tidak perlu lagi menanggung biaya tinggi dari konversi mata uang atau penggunaan platform pembayaran internasional milik asing.
Selain itu, dengan QRIS Cross Border Indonesia memiliki kesempatan tidak bergantung pada satu sistem atau mata uang tertentu, melainkan membangun skema transaksi multipolar berbasis kerja sama bilateral dan regional.
Peningkatan penggunaan QRIS sendiri juga mulai terasa di Provinsi Kepulauan Riau. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kepri mencatat 628.056 pedagang atau merchant di Kepulauan Riau (Kepri) telah menggunakan QRIS dalam bertransaksi berdasarkan perhitungan pada April 2025.
Dalam wawancaranya, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Kepri, Adidoyo Prakoso mengungkapkan, total penambahan merchant QRIS di Kepri pada bulan Januari hingga April 2025, adalah sebesar 48.812 merchant dengan total merchant sampai dengan April 2025 sebesar 628.056 merchant.
“Saat ini tumbuh sebesar 19,50% yoy dengan sebaran didominasi berada di Kota Batam (81,98%) dan merchant UMI (40,33%),” jelas Adidoyo, Senin (9/6/2025) lalu.
Berdasarkan data yang diterima untuk April 2025 terdapat penambahan 1.431 pengguna baru, kini total pengguna sistem QRIS di Kepri tercatat mencapai angka 539.337 pengguna.
Dari sisi transaksi, BI Kepri juga mencatat penambahan volume transaksi 18.069.086 kali atau tumbuh sebesar 104,85% (yoy). Dengan nominal transaksi mencapai angka Rp2,6 triliun.
“Januari hingga April 2025 terdapat nominal transaksi Rp2,60 triliun atau tumbuh sebesar 345,01% (yoy),” ujarnya.
Adidoyo juga menyebut, QRIS Cross Border di Kepri juga mengalami perkembangan, dengan tiga negara yang memungkinkan transaksi menggunakan QRIS yakni Thailand, Singapura, dan Malaysia.
“Dalam rangka meningkatkan kewaspadaan pengguna dan jumlah transaksi QRIS, BI Kepri juga melakukan berbagai upaya edukasi dan sosialisasi melalui berbagai media untuk mengampanyekan berbagai kemudahan dan kelebihan yang didapatkan dari QRIS,” lanjutnya. (*)