AlurNews.com – Kualitas air di Daerah Tangkapan Air (DTA) Dam Tembesi, Batam, Kepulauan Riau saat ini terancam terganggu paska laporan verifikasi lapangan yang diterbitkan NGO Akar Bhumi Indonesia pada, Minggu (7/12/2025). Hasil verifikasi tersebut menemukan berbagai aktivitas yang diduga melanggar aturan, dan kegiatan industri yang mengancam kualitas air bendungan.
Dalam verifikasi ini, Akar Bhumi menemukan aktivitas pematangan lahan di sekitar Dam Tembesi diduga dilakukan PT Kerabat Budi Mulia berdasarkan papan nama yang ditemukan di tepi Jalan Trans Barelang, serta aktivitas sejumlah truk pengangkut material timbunan dan alat berat jenis ekskavator.
“Kami mempertanyakan apakah aktivitas pematangan lahan sesuai dengan rencana tata ruang, serta apakah perizinan yang dimiliki sudah mempertimbangkan dampak ekologis, mengingat lokasinya berada di kawasan sensitif yang berbatasan langsung dengan DTA dan zona inti Bendungan Tembesi,” ujar Pendiri Akar Bumi Indonesia, Hendrik Hermawan saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Selasa (16/12/2025).
Hendrik juga mengaku melakukan penelusuran dokumen milik perusahaan yang tercatat memperoleh Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang (PL) dan diperuntukkan bagi pengembangan kegiatan pariwisata di Kelurahan Tembesi, Kecamatan Sagulung yang diterbitkan Pemerintah Kota (Pemko) Batam pada 28 Januari 2014.
Namun demikian, perusahaan tersebut
diduga memiliki izin prinsip di lebih dari satu lokasi yang masih berada dalam satu kawasan. Salah satu lokasi memiliki luas sekitar 7,18 hektare di dekat Jembatan Raja Ali Haji atau yang dikenal dengan sebutan Jembatan I Barelang yang telah lebih dahulu dikembangkan.
“Aktivitas di lokasi ini juga sempat memicu sengketa dan pengawasan sejumlah instansi, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), karena diduga memasuki ruang laut dan memiliki persoalan perizinan lingkungan. Kami menduga luas aktivitas di lapangan melebihi izin yang diberikan,” jelasnya.
Sementara untuk lokasi kedua seluas kurang lebih 11 hektare, diduga berada langsung di kawasan DTA dan zona inti Bendungan Tembesi. Aktivitas di lokasi ini dinilai jauh lebih berbahaya karena berisiko langsung terhadap daya dukung dan kualitas air bendungan.
“Kami menduga pintu masuk Dam Tembesi dimundurkan 350 meter mendekati bibir bendungan agar kedua lokasi yang diduga milik PT Kerabat Budi Mulia ini saling terhubung,” ujarnya.
Untuk diketahui Dam Tembesi memiliki luas sekitar 840 hektare dan menyuplai sekitar 20 persen kebutuhan air bersih Batam, atau sekitar 600 liter per detik, dari total kebutuhan rumah tangga sekitar 2.500 liter per detik.
Saat ini, Batam mengandalkan enam bendungan penampung air hujan, dengan sekitar 95 persen pasokan air bergantung pada curah hujan dan sisanya pada kelestarian hutan lindung di daerah tangkapan air.
“Jika pembiaran ini terus terjadi, bukan hanya Bendungan Tembesi yang terancam, tetapi seluruh bendungan di Batam, bahkan hingga kawasan Segong. Ini merupakan bentuk degradasi sistemik terhadap daya dukung bendungan,” kata Hendrik.
Selesai menjalani pembangunan pada 2014 lalu, pihaknya menuntut Dam Tembesi mulai disterilkan, sehingga kawasan tersebut seharusnya ditetapkan sebagai wilayah lindung dan tidak diperuntukkan bagi kegiatan komersial.
“Ini menjadi pertanyaan besar bagi kami, mengapa izin prinsip pemanfaatan ruang
dapat diterbitkan di kawasan yang secara faktual merupakan DTA dan bahkan
berbatasan langsung dengan zona inti bendungan,” tegas Hendrik.
Dalam verifikasi tersebut, ABI juga menemukan bahwa kawasan hutan lindung di sekitar waduk telah dialihkan statusnya menjadi kawasan “putih” yang dimanfaatkan oleh PT Tanjung Piayu Makmur (TPM) yang merupakan anak perusahaan Panbil Group.
“Beberapa lokasi bahkan berbatasan langsung dengan zona inti bendungan,
yang seharusnya dilindungi untuk menjaga kualitas air. Pihaknya mengingatkan apabila perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi, risiko masuknya limbah ke bendungan akan sangat besar dan berpotensi mencemari air baku,” jelasnya. (Nando)

1 day ago
2

















































