Assoc. Prof. Dr Mohammad Ghozali, MA, Assoc. Prof Dr Mulyono Jamal, MA, Kemitraan Prof Dr Hasanuddin Yusuf Adan, MA, Anggota Mitra Dr Yuliar Djamaluddin Sanrego, M.Ec, Rodhiyatun Nisak
Instrumen keuangan syariah merupakan aset-aset dalam aktivitas transaksi yang sesuai dengan hukum dan syariat Islam. Dalam praktiknya, kontrak atau akad yang digunakan ialah akad-akad yang sesuai dengan tuntunan syariat atau secara lebih khusus sesuai dengan ketentuan fikih muamalah.
Sebagai institusi yang mengembangkan dan mengawasi keuangan syariah, Otoritas Jasa Keuangan Syariah menetapkan bahwa diantara instrumen keuangan syariah yang diberlakukan ialah pasar modal syariah dan Lembaga Keuangan Syariah.
Bukan hanya secara nasional, akan tetapi pasar modal syariah dan Lembaga Keuangan Syariah hingga hari ini terus berkembang menjadi komponen penting dalam sistem keuangan global. Berbagai bentuk inisiatif dan inovasi terus dilakukan dengan tetap memegang prinsip syariat Islam secara utuh.
Akad mudharabah ini merupakan salah satu wahana utama bagi lembaga keuangan syariah untuk memobilisasi dana masyarakat dan untuk menyediakan berbagai fasilitas seperti pembiayaan bagi para nasabah.
Tercatat dalam laporan terakhir statistik perbankan syariah bahwa penggunaan akad mudharabah menjadi akad yang diminati oleh nasabah setelah akad murabahah dengan persentase 29,11%. Secara sederhana mudharabah dapat diartikan sebagai sebuah akad kerja sama dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul mal) yang menyediakan seluruh modal usaha, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib), adapun keuntungan yang diperoleh akan dibagi secara proporsional sesuai kesepakatan dan kerugian finansial ditanggung oleh pihak pemilik modal selama hal tersebut muncul bukan disebabkan kelalaian pengelola usaha. Secara teknis mudharabah adalah kemitraan laba, dimana satu pihak menyediakan modal dan pihak lain menyediakan tenaga kerja.
Pada dasarnya akad mudharabah merupakan akad kerja sama antara dua belah pihak yang didasari oleh prinsip kepercayaan (amanah), maksudnya adalah pengelola dana (mudharib) dipercaya untuk mengelola modal usaha, dia tidak dikenakan kewajiban untuk mengganti rugi (dhaman) atas kerusakan atau kerugian yang menimpanya selama tidak disebabkan atas kelalaian, kecerobohan, atau tindakannya yang melanggar syarat dalam akad.
Prinsip inilah yang membedakan pembiayaan menggunakan akad mudharabah dengan akad-akad lainnya. atas dasar prinsip di atas, pihak shahibul mal pada dasarnya tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudharib untuk mengembalikan modal atau modal dengan keuntungan.
Akad dan kontrak dalam Islam sama halnya dengan perjanjian, keduanya identik dengan makna akad. Pada implementasinya hukum kontrak perjanjian dalam transaksi pada lembaga keuangan syariah, terdapat tiga faktor kontrak perjanjian diantaranya terdapat persetujuan dan kesepakatan secara tertulis dan terdapat para pihak yang berkewajiban dan berhak membuat persetujuan atau kesepakatan secara tertulis.
Meskipun akad mudharabah dirancang untuk menciptakan kemitraan yang adil berdasarkan prinsip keuntungan dan kerugian bersama, akan tetapi pada realitanya praktik akad tersebut tidak terhindar dari potensi konflik dan sengketa. Perbedaan interpretasi, ketidakpastian kondisi pasar, dan faktor eksternal lainnya dapat menjadi pemicu timbulnya sengketa dalam pelaksanaan kedua akad ini.
Berdasarkan data pada website Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Badan Peradilan Agama RI menunjukkan jumlah index putusan tentang perkara ekonomi syariah mulai tahun 2006 hingga akhir 2023 sebanyak 1.595.
Berdasarkan data tersebut, putusan didominasi oleh sengeketa ekonomi syariah menggunakan akad keuangan syariah diantaranya akad murabahah, musyarakah mutanqishah, dan mudharabah. Diantara permasalahan yang hingga saat ini menjadi sengketa dalam akad mudharabah ialah kasus sengketa early settlement (Penyelesaian akad sebelum jatuh tempo), default payment (kegagagalan dalam melunasi pokok dan bagi hasil), kepailitan, dan force majeure.
Permasalahan tersebut merupakan kasus-kasus sengketa yang terjadi pada produk di perbankan Syariah yang menggunakan akad kerjasama dalam hal ini adalah mudharabah.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan perspektif fikih muamalah yaitu analisa menggunakan kaidah dan ketentuan akad mudharabah yang dikumpulkan oleh para Ulama madzhab dan ulama kontemporer setelahnya di dalam karya-karya mereka, hal ini tanpa memisahkan dengan kaidah umum maqasid syariah. Sebab dalam menganalisa kasus ekonomi syariah perlu adanya keseimbangan antara syariah (fiqh syari) dan praktik ekonomi yang berjalan (fiqh waqi’).
Akad Mudharabah dan Penerapannya di Perbankan Syariah.
Akad mudharabah merupakan salah satu jenis akad dalam sistem keuangan syariah. Akad ini merupakan salah satu akad yang menjadi primadona dalam praktik ekonomi islam di Indonesia. Terbukti bahwa terdapat banyak instrumen ekonomi syariah yang mempraktikkan akad ini seperti lembaga keuangan syariah (LKS), Pasar Modal Syariah, lembaga asuransi, lembaga pembiayaan, perusahaan modal ventura dan juga perusahaan dana pensiun.
Dalam catatan statistik perbankan syariah yang dirilis pada akhir bulan november 2023 menunjukkan bahwa akad mudharabah menjadi akad dalam kategori kerja sama yang diminati masyarakat setelah akad musyarakah. Secara persentase perbankan syariah mengeluarkan 29,11% biaya yang ditujukan untuk akad ini.
Terdapat banyak kelebihan pada praktik akad mudharabah yang disebutkan oleh para ulama dalam literaturnya diantaranya yaitu: pertama, menjadi alternatif bagi lembaga keuangan syariah untuk menghindari adanya riba pada bunga bank. Kedua, menjadi salah satu akad yang bukan hanya berorientasi pada keuntungan semata namun juga didasari prinsip kerjasama dan tolong menolong yang mana hal ini merupakan tujuan pokok dalam setiap sistem ekonomi Islam. Ketiga, menjadi instrumen yang dapat meningkatkan kesejahteraan baik dari lembaga keuangan ataupun masyarakat dan nasabah.
Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu jenis akad syirkah (perkongsian), mudharabah adalah istilah dari Ahli Irak sedangkan dalam bahasa Ahli Hijaz disebut qiradh. Penduduk Ahli Irak menamakan dengan mudharabah yang berasal dari kata dharb yaitu pergi atau berjalan (dharb fii ardh).
Hal ini karena setiap kontributor akad (pemilik modal dan pengelola modal) mendapat bagian (dharb as-sahm) dari keuntungan mudharabah, dan karena pengelola atau ‘amil membutuhkan perjalanan, sedangkan dalam bahasa arab perjalanan disebut dengan dharb fii ardh.
Secara etimologi pula disebut dengan al-Qath’u yang berarti potongan sebab pemilik harta memotong sebagian hartanya untuk dikelola pihak lain dengan mengambil keuntungan darinya. Adapun qiradh berasal dari kata muqaradhah yang berarti persamaan, yaitu kedua kontributor akad memiliki hak yang sama dalam memperoleh keuntungan, atau karena modal berasal dari pemilik modal dan pengelolanya disebut amil. Adanya perbedaan kata menyebabkan terjadinya pengerucutan istilah, dimana istilah qiradh digunakan oleh madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah sementara istilah mudharabah digunakan oleh madzhab Hanafiyah dan Hanabilah.
Adapun secara terminologi ulama fikih diantaranya Imam An-Nawawi dari kalangan madzhab Syafi’i menyebutkan bahwa mudharabah ialah sebuah akad kerja sama dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul mal) yang menyediakan seluruh modal usaha, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib) adapun keuntungan yang diperoleh akan dibagi secara proporsional sesuai kesepakatan dan kerugian finansial ditanggung oleh pihak pemilik modal selama hal tersebut muncul bukan disebabkan kelalaian pengelola usaha.
Secara teknis mudharabah adalah kemitraan laba, dimana satu pihak menyediakan modal dan pihak lain menyediakan tenaga kerja, itulah sebabnya akad ini oleh para Fuqaha disebut dengan akad perkongsian (‘aqd isytirak). Dalam Madzhab Syafi’i rukun akad mudharabah terdiri dari al-‘aqidani (shahibul mal dan mudharib), shighah (ijab dan qabul), ‘amal (pengelolaan), dan ribh (keuntungan).
Berangkat dari definisi di atas, maka Syaikh Muhammad Zuhaili menjelaskan bahwa hikmah di balik akad mudharabah sangatlah jelas yaitu mengupayakan tercapainya kerja sama antara manusia dalam menginvestasikan harta, tercapainya kerja sama dalam bertransaksi, memberikan keuntungan yang dibagikan kepada pemilik harta dengan menginvestasikannya, serta terciptanya lapangan kerja bagi para profesional dan para pedagang yang tidak memiliki harta atau modal yang digunakan untuk bertransaksi, sehingga keikutsertaan dalam akad tersebut adalah untuk mencapai kemaslahatan individu (Maslahat al-fardi) dan kemaslahatan umum (maslahat al-‘am) dalam menggunakan harta dan memenuhi kebutuhan hidup.
Selain akad mudharabah, dalam akad kerjasama yang dijelaskan literatur fikih terdapat pula akad musyarakah. Seiiring berkembangnya kebutuhan masyarakat maka akad ini banyak mengalami inovasi salah satunya disandingkan dengan akad lain seperti Musyarakah Mutanaqishah. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai perbedaan kedua akad ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Sengketa Pada Akad Mudharabah
Di dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah pertentangan atau perselisihan yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak lainnya yang berkaitan dengan hak yang bernilai, baik berupa uang atau benda.
Achmad Ali dan Amran Suadi memandang, sengketa atau konflik ialah setiap situasi pertentangan kepentingan antara dua orang atau lebih di mana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain tetapi gagal mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk memperjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka yang kehendaki.
Pada umumnya sebuah sengketa pada ekonomi syariah mucul dikarenakan adanya wanprestasi ingkar janji oleh salah satu pihak, salah satu pihak tidak melakukan apa yang telah disepakati, atau salah satu pihak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan tetapi keliru bahkan tidak tepat waktu, sehingga apa yang dilakukan oleh salah satu pihak inilah yang memicu timbulnya sengketa.
Dr. Fatha menyebutkan diantara faktor penyebab yang lazim terjadi dalam sengketa ekonomi syariah adalah sebagai berikut:
1. Akad yang dibuat oleh para pihak yang tidak transparan atau hanya ditentukan oleh salah satu pihak saja terutama pihak yang berada pada posisi yang kuat, sehingga pihak yang lain tidak memahami isi akad dengan baik.
2. Isi akad yang tidak mudah untuk dilaksanakan karena beberapa sebab, yaitu: 1) Salah satu pihak yang kurang hati-hati dalam melakukan perundingan, 2) Salah satu pihak tidak mempunyai keahlian di dalam negosiasi kesepakatan isi akad, 3) Salah satu pihak tidak mempunyai keahlian di dalam mencermati risiko yang mungkin akan terjadi dari akad tersebut atau 4) Salah satu pihak tidak jujur dalam melaksanakan akad.
Dari segi akad atau perjajian yang dibuat oleh para pihak, ada beberapa bentuk akad yang berpotensi sengketa di kemudian hari, diantaranya adalah:
A. Salah satu pihak menemukan fakta bahwa syarat-syaratnya suatu akad, baik syarat subjektif maupun objektif yang ternyata tidak terpenuhi sehingga menuntut pembatalan akad;
B. Akad diputus oleh satu pihak tanpa persetujuan pihak lain dan perbedaan menafsiran isi akad oleh para pihak sehingga menimbulkan sengketa hukum;
C. Karena salah satu pihak tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan;
Terjadinya perbuatan melawan hukum 5) Adanya risiko yang tidak terduga pada saat pembuatan akad
Tim Penelitian Kulaboratif Perguruan Tinggi Nasional